Penayangan bulan lalu

Rabu, 29 Juli 2009

Batak: BATU HOBON, NYI RORO KIDUL DAN ORANG-ORANG NINIWE



Batak: BATU HOBON, NYI RORO KIDUL DAN ORANG-ORANG NINIWE

.

BATAK | Label: Legenda Batak


BATAK | Judul: BATU HOBON, NYI RORO KIDUL DAN ORANG-ORANG NINIWE
BATAK | Artikel: PERNYATAAN DARI NYI RORO KIDUL (Ratu Pantai selatan), DEWA BRAHMANA, DEWI KWAN IM beserta DEWA DEWI Lainnya.
Kisah tentang Ratu pantai Selatan ini sudah banyak beredar diseluruh dunia dengan berbagai versi yang rata-rata menghina atau menjelek-jelekan Beliau. Saya Sebagai manusia yang beragama merasa sedih dengan kenyataan ini. Atas nama Tuhan Allah Bapa Sang Pencipta Langit dan Bumi dan Segala isinya, Tuhan Jesus Kristur dan Roh Kudus beserta Seluruh Malaikat Surga Izinkanlah Saya sebagai manusia yang lemah dan bodoh yang mendapat berkat dari Kanjeng Ratu dan Para Dewa Dewi menyatakan Kebenaran yang sebenarnya Tentang Nyi Roro Kidul dan orang-orang niniwe.
1. Nyi Roro Kidul Adalah Salah satu Malaikat Tuhan sama seperti Dewa Wishnu, Dewi Kwan Im dan Dewa Dewi Lainnya yang sangat saya puja dan saya hormati. Hanya Bedanya Nyi Roro Kidul diberkati Tuhan Sang Pencipta Memerintah sebagai Ratu yang sakti mandraguna. Dewa Wishnu, Dewi Kwan im dan Dewa-Dewi Lainnya Lebih condong Keagama.
2. Kisah Tentang Asal mula Kanjeng Ratu Pantai selatan memang benar berasal dari tanah batak. Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul adalah Putri dari Raja Tea-Tea Bulan dengan nama sebenarnya adalah Biding Laut. Namun Kisah hidup dan perjalanan Beliau sampai menjadi Ratu Pantai Selatan yang beredar saat ini semuanya dijamin Salah dan mengada ada. Mengapa demikian ? Karena Sayalah Manusia yang benar benar Mengenal Siapa Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul.
3. Semenjak usianya habis dan dijemput oleh malaikat Tuhan, Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul beserta ayah dan Saudara saudarinya Raja Biak-Biak (Raja Huti), Saribu Raja dan lain-lain tidak pernah turun kebumi dan masuk atau kesurupan kedalam tubuh manusia dimanapun. Jadi Selama ini semua yang mengaku-ngaku Hasandaran mereka adalah Iblis penipu yang berusaha menjelek-jelekkan nama keluarga itu. Hal ini Terjadi juga pada Dewi Kwan im dan Dewa Wishnu, dimana sudah ada beberapa orang penipu yang mengaku sebagai reinkarnasi (Hasandaran) beliau.

KEBANGKITAN NYI RORO KIDUL BERSAMA DEWA DEWI
Dalam Kitab Injil LUKAS 11 Ayat 29 – 32 Jelas dituliskan Nubuat Jesus Bahwa :

Pada Waktu Penghakiman Ratu dari Selatan Itu Akan Bangkit Bersama orang dari angkatan ini dan ia akan menghukum mereka, sebab Ratu ini dating dari Ujung Bumi untuk mendengarkan Himat Salomo, dan sesungguhnya yang ada disini lebih daripada Salomo. Pada Waktu Penghakiman Orang-Orang Niniwe akan Bangkit bersama angkatan ini dan mereka akan menghukumnya. Sebab orang-orang Niniwe itu bertobat waktu mereka mendengar pemberitaan Yunus dan sesungguhnya yang ada disitu Lebih dari Yunus.

- Nubuat Jesus itu Bukan Perumpamaan Karena itu dikatakan Nubuat Jesus adalah Nubuat Yunus dan Yesus Tidak mau menjelaskan lebih dari Nubuat Yunus. Mengapa ?????
Karena semua ahli taurat, dukun atau penyihir dan roh jahat tau siapa itu Ratu dari Selatan dan pasti berusaha menghalangi kebangkitannya agar nubuat Yesus Tidak terjadi. Namun tidak ada satu orang atau satu mahluk yang tahu siapa orang-orang Niniwe itu sampai mereka datang dan bangkit kedunia. Itulah Tanda Keagungan Tuhan Sang Pencipta.
- Jelas Ratu Selatan yang berasal dari ujung Bumi Hanya Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul Yang memiliki dua istana diujung bumi yaitu Satu di dasar laut Selatan Jawa dan istana Satu Lagi di atas awan-awan (di langit)
- Orang-orang Niniwe yang dimaksud adalah Dewa Brahmana, Wishnu, Shiwa, Dewi Kwan-im beserta Dewa Dewi lainnya yang menyebarkan ajaran Brahmanaisme, Hindu dan Budha. Jadi Pada Akhir Jaman atau KIAMAT I Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul beserta dewa Dewi itulah yang akan menjadi HAKIM dan menghukum Seluruh Manusia yang Hidup dan yang telah Mati ( ROH). Setelah itulah Jesus Akan dating untuk Kedua kalinya.
- Dalam Agama Hindu Kesembilan DASAWATARA WISNU telah terjadi yang pertama adalah Matsyawatara (sebagai ikan) yang menolong Nuh (Manu) sewaktu air Bah menenggelamkan Bumi dan yang kesepuluh adalah bangkit bersama-sama dewi Kwan Im, Nyi Roro Kidul serta Dewa-dewi lainnya Sebagai Penunggang kuda Putih yang menakai Pedang. Kuda Putih yang dimaksud disini adalah Manusia yang telah dipilih sang pencipta.

KEGAGALAN IBLIS DAN SETAN SERTA MANUSIA YANG BERSEKUTU DENGAN SETAN MENGHALANGI KEBANGKITAN KANJENG RATU DAN DEWA DEWI
1. Berusaha mencari, Mengejar, membunuh orang yang dianggap sebagai hasandaran atau reinkarnasi nyi roro kidul. Namun Gagal
a. Dukun (Paranormal) bersatu dengan Tokoh agama seperti Pendeta Kharismatik , Ulama dan Pemuka agama Lainnya menyebarkan kisah buruk dengan menyebarkan dan mengkotbahkan cerita bahwa Nyi Roro Kidul itu Panglimanya Lusifer si Raja Setan. Jadilah Semua orang saat ini menganggap Nyi Roro Kidul Jahat, selalu meminta Tumbal ,Suka Kawin dengan Sultan-Sultan, Santet, Susuk dan segala kejahatan setan . Semua mereka lakukan agar Nubuat Tuhan Gagal.

b. Setelah memperkirakan manusia yang dianggap sebagai reinkarnasi Nyi roro Kidul Lahir, Dukun- Dukun (Paranormal), Banyak Pendeta , Ulama dan Biksu dan pemimpin agama lainnya berusaha Mengungkapkan asal usul Nyi Roro Kidul Sebagai Putri Batak dari Raja Tea Tea Bulan. Mengapa ? Agar memancing keluar manusia tersebut dan membunuhnya.

c. Mereka melakukan Upacara Gaib Penutupan BATU HOBON THN 1996 dengan Dalil RENOVASI bekerja sama dengan Pemda Tapanuli Utara. Upacara BATU HOBON dilakukan

1. Untuk mencari dan mencuri benda pusaka yang ada di Kuburan Batu Hobon terutama Keris Sakti Nyi Roro Kidul yang dianggap Siapapun yang punya keris itu menjadi sakti mandraguna dan bias menguasai Indonesia dan Dunia. Mereka gagal Keri situ tidak disitu disimpan He…he…he.
2. agar Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul Marah dan MUncul sehingga mereka bias menangkapnya. He..he…he…Namun Mereka Gagal Kanjeng Ratu Tidak Muncul Karena belum ada perintah dari yang Maha Kuasa Pencipta Langi Dan Bumi. Mereka kesal dan kecewa lalu menyuruh setiap orang yang datang ke Batu Hobon, baik untuk berobat ataupun Meminta harta dan kekuasaan melemparkan telur dan jeruk Purut untuk menguatkan pagar gaib mereka agar tidak ada satu manusiapun yang bisa membuka BATU HOBON . Coba saudara bayangkan '''betapa jorok dan bau Batu Hobon itu akibat Puluhan Ribu Telor Yang dilempar ke atasnya dan jadi Busuk '"' …Coba Kepala Saudara atau Rumah Saudara yang dibuat Begitu Bayangkan Joroknya @@@@. Saya Sangat Sedih Ketika Melihatnya , Lebih Sedih Lagi Melihat Poparan dari Batu Hobon Yaitu Marga-marga Pasaribu, Malau, Limbong, dlll membiarkan dan mendukung kejorokan tersebut, padahal marga-marga itu yang mengaku aku selama ini sebagai pemilik batu Hobon. Ya Tuhan Maafkan mereka atas kesalahan dan Kebodohan Mereka. Saudara –Saudara Yang merasa PoParan dari Batu Hobon Sadarlah Akan Tipu daya Iblis. Sembahlah TUHAN ALLAH Saja Pakai logika kamu. Apakah Opung-opung Kamu sehina Itu ? Sadarlah…………. Opung-Opung Kamu Yang dari Batu HOBON adalah Orang baik Yang diberkati Tuhan dan pantas Saya menyebut mereka dengan ROH KUDUS. Jaga , bersihkan dan Rawat Batu Hobon. Karena itu adalah Makam Mereka. Jangan Pernah membawa Jeruk Purut atau Telor, karena itulah Yang paling dibenci Opung-opung yang dari Batu Hobon.
Puji Tuhan Akhirnya Batu Hobon Telah Kami Buka Kembali dengan Restu dari Sang Pencipta. Mulai Sekarang BATU HOBON TELAH BERSIH.

d. Pada Tahun 1998 Sekumpulan Manusia sesat pemuja setan, mereka adalah Dukun-dukun, Pendeta, Kyai, ulama dan pemuka agama lainnya berkumpul di Pantai Selatan untuk melakukan pengusiran dan penghancuran istana Nyi Roro Kidul, Tapi Lagi-Lagi Mereka Gagal. Karena Setan-setan dan manusia setan itu tidak memiliki kesaktian yang cukup, apalagi mereka takut sama air laut.
e. Kemudian dengan disokong oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudoyono) Mereka melakukan upacara Gondang pemanggilan Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul di Taman Mini. Waktu itu Tiba-tiba hujan lebat sekali dan angin kencang. kalau ada yang bilang penguasa alam gaib marah tidak betul. Hujan lebat dan angin kencang yang terjadi karena Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul yang saat itu bersama-sama dengan dewi Kwan Im dan Dewa Baruna ( Brahmana) Sangat sedih melihatnya. Mereka sedih melihat ulah manusia di bumi yang lebih dari 2/3 manusia telah berseku dengan setan hanya untuk harta jabatan dan kekuasaan dengan memakai nama kanjeng Ratu dan Dewa Dewi.
Ketahuilah Saudara-Saudara Upacara Gondang itu sebenarnya untuk memancing keluar manusia yang mereka perkirakan sebagai reinkarnasi Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul, agar mereka dapat membutuhnya. DAN Mereka Gagal .
f. Mulai Sekarang Sadarlah Saudara-Saudara terutama kamu semua Pemuka agama yang telah salah jalan. Kembalilah dan bertobatlah Sadarlah Nubuat Tuhan Tidak bisa digagalkan oleh siapapun atau kekuatan apapun. Seluruh Kekuatan Surga Telah Bersatu Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul Telah Bangkit Berhasil Bangkit Kembali Bersama Orang Orang Niniwe untuk menghakimi manusia yang hidup dan yang mati. Tinggal Menghitung hari Maka Hari Penghakiman Itu Tiba. Jadi selama Masih ada waktu bertobatlah.

Saya Bertanggung Jawab Kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta Untuk Tulisan ini. Saya Minta Tolong Juga Terhadap Seluruh umat beragama, terutama Bapak dan ibu Pendeta dari Agama Hindu dan Budha. Berdoalah dengan Tulus Setulus Hati Kepada Tuhan Sang Pencipta alam semesta Tanyakanlah Kepada Tuhan Siapa Kanjeng Ratu Pantai Selatan itu sebenarnya, Maka Kamu semua akan Mengetahui bahwa apa yang saya tulis ini adalah kebenaran sang pencipta. Salam Hormat saya kepada semua umat beragama agama, terutama agama Hindu dan Budha. YOS_RONALD@YAHOO.COM
---------------------------------------------------------------------



Senin, 27 Juli 2009

NOMMENSEN

“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr Ingwer Ludwig Nommensen)

Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.

Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.

Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Di masa muda Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.

Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.

Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.

Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.

Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.

Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.

Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.

Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Bangsa Belanda).

Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.

Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.

Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.

Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.

Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.

Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar kembali ke Silindung.

Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.

Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.

Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.

Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.

Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada.

Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.

Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.

Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.

Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.

Tercatat pula bahwa sejak tahun 1862 Nommesensen telah mendirikan gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar, Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Pansur Napitu, Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1914 di Ambarita; 1921 di Medan; dan 1922 di Jakarta.

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.

Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.

Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…

Biodata:
Lahir : Nordstand, 6 Februari 1834
Sidi : Minggu Palmarum 1849
Pendidikan : 1857 – 1861 sekolah pendeta di Lembaga Pekabaran Injil Rhein RMG) Barmen, Jerman.
Ditahbiskan : Ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober pada 1861.
Awal penginjilan : Pada 24 Desember 1861 berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Tiba di Tanah Batak : 23 Juni 1862
Jabatan penting : RMG Barmen mengangkatnya menjadi ephorus pada 1881.
Penghargaan : Gelar Honoris Causa diperoleh dari Universitas Bonn, Jerman pada 6 Februari 1904, tepat pada ulangtahunnya yang ke-70.
Wafat : Pada 23 Mei 1918 wafat dan dikebumikan di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Penulis, Tonggo Simangunsong (wartawan Harian Global.)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis “Napak Tilas Dr Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Batak”, Januari – 16 April 2007.

“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr Ingwer Ludwig Nommensen)

Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.

Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.

Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Di masa muda Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.

Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.

Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.

Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.

Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.

Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.

Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.

Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Bangsa Belanda).

Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.

Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.

Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.

Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.

Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.

Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar kembali ke Silindung.

Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.

Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.

Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.

Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.

Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada.

Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.

Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.

Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.

Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.

Tercatat pula bahwa sejak tahun 1862 Nommesensen telah mendirikan gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar, Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Pansur Napitu, Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1914 di Ambarita; 1921 di Medan; dan 1922 di Jakarta.

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.

Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.

Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…

Biodata:
Lahir : Nordstand, 6 Februari 1834
Sidi : Minggu Palmarum 1849
Pendidikan : 1857 – 1861 sekolah pendeta di Lembaga Pekabaran Injil Rhein RMG) Barmen, Jerman.
Ditahbiskan : Ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober pada 1861.
Awal penginjilan : Pada 24 Desember 1861 berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Tiba di Tanah Batak : 23 Juni 1862
Jabatan penting : RMG Barmen mengangkatnya menjadi ephorus pada 1881.
Penghargaan : Gelar Honoris Causa diperoleh dari Universitas Bonn, Jerman pada 6 Februari 1904, tepat pada ulangtahunnya yang ke-70.
Wafat : Pada 23 Mei 1918 wafat dan dikebumikan di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Penulis, Tonggo Simangunsong (wartawan Harian Global.)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis “Napak Tilas Dr Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Batak”, Januari – 16 April 2007.




CREATIF BY : RONALD YOS NAINGGOLAN

നോമ്മേന്സെന് teks

DRAMA SINGKAT DR. IL NOMENSEN

BABAK I (Suasana orang berkumpul dengan mengadakan ritual diantaranya para raja dan datu bolon).

Moderator : (Suasana musik batak jaman dulu) Di suatu daerah dimana penduduknya masih mengenal pelbegu atau persembahan untuk para nenek moyang dan belum mengenal injil dan berita terang, dimana sifat penduduknya yang keras, sadis, dan kejam sedang melakukan ritual di sebuah tempat untuk meminta petunjuk kepada nenek moyangnya bagi masyarakatnya.

(Musik berhenti)

Datu bolon : (Sambil membuka kain kavan) Ups… Paima… Paima… buka ma ampang I Raja nami…!! (Sambil melihat tu Raja huta) Tudia arah hulu ni panahi habong na dohot pat nai…

Raja huta : Tolema Datu hami, dokkon ma na sa sintongna na tarjadi (Sambil membuka ampang tersebut).

Datu bolon : (Sambil terkejut dan ketakutan) Bah sirgomma hita, maup ma hita… Amanggoi… Amang… (Sambil teriak kecil). Manatap ma ho… mula jadi na bolon… Asi ma roham di hami sega mahita raja nami… sega mahita (para raja bingung).

Raja barita : (Sambil keheranan dan bingung) Bah… bah… aha… nuaeng na masa…

Datu bolon : ndang sadia leleng nai ro ma hagogoan na luar biasa naeng manghancurkan hita, bereng ma (sambil menunjuk ampang) pat… na nuaeng manunjang hita sian selatan.

Raja barita : Bah songoni do hape… Ulu na hira tombak manusuk tu andora na gogo mambunu sude na adong i… oii… raja nami… habong na mangirir tu sude bangso, bahkan tu sude wilayah bona pasogit on.

Datu bolon : ndang mungkin, hita boi manahan i… Amango… Amang…Bohom… di hami ompung mula jadi na bolon (sambil berdiri) mulak… ma hita… akka raja nami…

Raja huta : Beta… ma… hita maninggalhon tempat on, hatop ma hita tu huta ta paboa tu akka dongan, hita sude… ingkon hati-hati da (pulanglah mereka di iringi musik batak).

Moderator : itulah akhir dari sebuah ritual… yang sangat dasyat namun mereka belum mengetahui apa yang akan terjadi. Namun yang pasti akan terjadi sesuatu hal yang besar di tanah batak suatu perubahan, makanya mereka sangat heran dan ketakutan.

KOOR NHKBP :

Moderator : Sementara itu di lain benua nan jauh seorang Nomensen remaja sederhana yang baru saja sembuh dari lumpuh kakinya bahkan hampir diamputasi selama setahun akibat kecelakaan kereta kuda dan kini sedang bercakap-cakap dengan gurunya Callisen di ruang kelas. (Suasana dalam ruangan musik : Bethoven).

DRAMA SINGKAT DR. IL NOMENSEN

BABAK II (Dalam ruangan kelas terjadi perbincangan empat mata antara Callisen dengan Nomensen kecil).

(Suasana musik bethoven)

Nomensen : Guru…!! Ada yang mau kutanyakan padamu setelah aku banyak belajar darimu.

Callisen : Apa itu? Anakku…! Tanyakanlah dan keluarkanlah yang ada dalam benak hatimu.

Nomensen : Guru… bisakah saya mempunyai cita-cita memberitakan injil terang ke daerah yang belum pernah mengenal Tuhan Yesus?

Callisen : Anakku Nomensen…!!! (Sambil merangkul dada Nomensen)

Sungguh luhur cita-citamu. Kelak engkau akan memasuki suatu dunia yang terbelakang dan gelap dan engkau dengan cita-citamu akan membawa terang bagi mereka.

Nomensen : Guru… biarlah kiranya ijinkan aku menjadi seorang missioner dan aku akan lebih cepat untuk minta di sidi dahulu lalu aku akan mendaftarkan sekolah di RMG Barmen terlebih dahulu aku akan meminta restu dan ijin kepada kedua ibuku.

Callisen : (Sambil memegang kepala seolah memberi berkat) pergilah anakku… dengan sukacita dan damai di hatimu.

Moderator : (dalam gubuk rumahnya Nomensen mendapati ibunya sedang menjahit).

Nomensen : Selamat sore ibu… sedang apa ibu? (Sambil meletakkan tas).

Anna/ibu : Oh,,, sudah pulang kau rupanya nak, ibu sedang menjahit celanamu yang robek.

Nomensen : (Sambil mendekat ke ibunya) ibu ada yang mau kubicarakan.

Anna/ibu : Apakah itu nak…??

Nomensen : Begini ibu, aku telah bicara tadi dengan Gr. Callisen dan hasilnya aku ingin bercita-cita menjadi seorang missionaries untuk menyebarkan berita injil ke seluruh dunia. Mungkin esok pagi aku sudah pergi untuk belajar alkitab dan disana lalu aku akan melanjutkan sekolah pendeta di RMG Barmen.

Anna/ibu : oh… (sedih, sambil memegang kepala Nomensen) Anakku, sungguh luhur cita-citamu walaupun berat hatiku untuk melepasmu karena engkau adalah anak laki-laki satu-satunya, tetapi aku tetap merestuimu dan cita-citamu. Semoga Tuhan selalu besertamu.

Moderator : Esok pagi-pagi hari dan Nomensen muda telah siap untuk berangkat ia pun berpisah dengan ibu dan adik-adiknya sekeluarga (3 cewe).

(Berangkatlah Nomensen sambil melambaikan tangan ke keluarganya)

KOOR : Anakku na burju

DRAMA SINGKAT DR. IL NOMENSEN

BABAK III

Kapten kapal : Baiklah pendeta disinilah kita berpisah dan dari sini engkau akan melanjutkan perjalanan ke daerah Barus dan aku akan kembali ke kapal dan melanjutkan kembali pelayaranku. Kiranya Tuhan selalu melindungi dan memberkatimu.

Nomensen : Terima kasih kapten atas pelayananmu dan sampaikan salamku untuk seluruh awak kapal… (berangkatlah rombongan Nomensen berjalan masuk) (Kapten kapal meninggalkan Nomensen) (Musik alunan batak)

Moderator : Bersama-sama rombongan ia melanjutkan perjalanan melewati hutan-hutan dan daerah-daerah pedalaman melalui Barus dan Tukka… hingga tibalah ia di Prau Sorat dan tinggal bersama dengan Van Asselt di Sarulla.

Moderator : Suatu hari ia doa pagi sampailah ia berjalan pertama kali di lembah Silindung Siatas barita.

Nomensen : Wah… wah… betapa indahnya wilayah ini. Begitu subur dan nyaman oh tapi saying sekali mereka masih hidup dalam kegelapan, tapi… biarlah aku akan perkenalkan Tuhan Yesus kepada mereka. (Lalu berdoalah dia) (tangan kiri alkitab, tangan kanan ke atas) “Tuhan… biarlah hidup dan mati saya akan bersama-sama bangsa ini untuk memberitakan firmanMu dan kerajaanMu, Amin…!!! (Suara riuh angin… putar…)

KOOR : Dame dohot holong

CREATIF BY : RONALD YOS NAINGGOLAN